ELSA CAKE


Lihat Peta Lokasi
Klik/Tab Gambar
ELSA CAKE

Lihat
Keberuntungan Anda
Dapatkan Door Prize
4 x Rp 600.000,-





Riau Model

ELSA CAKE ELSA CAKE

Sambungkan ke
Free WIFI
Pekanbaru - Art@wifi.id

Melayani Pesanan dari Berbagai Kota di Indonesia:

JogjakartaMedanBandungMalangSemarangSurabayaJakartaSawangan - Depok - Tangerang - PurwokertoPadangPalembangBandar LampungDenpasarManadoSamarindaSoloBanjarmasinPaluBalikpapanMakasarYogyakartaIndramayuBaliPasar Baru (Banten)Padang Sidempuan (Tapanuli Selatan)Mandailing NatalPurwokerto (Puerto Rico)



Lihat
Keberuntungan Anda
Dapatkan Door Prize
Rp 500.000,-
Voucher
Belanja
& 1 kg emas


www.pekanbaruart.com

Dikirim oleh Lukis Wajah Pekanbaru ART pada Sabtu, 01 Mei 2021

Prabowo Bukan Kekuatan Politik di Indonesia Lagi

Peta Politik Terkini: Prabowo Bukan Kekuatan Politik di Indonesia Lagi


Setahun Presiden Jokowi-JK memerintah, rakyat kini sudah tidak tertarik lagi dengan politik. Rakyat kini lebih tertarik kepada urusan ekonomi. Pikuk yang dibuat oleh Fahri Hamzah dan Fadli Zon, ditambah dengan nyanyian nyinyir Dyah Pitaloka dan Effendi Simbolon plus Tantowi Yahya dan Nurul Arifin tentu, pada akhirnya hanya dianggap nyanyian kosong tanpa makna dan esensi. Di tengah upaya pemakzulan terencana yang gagal terhadap Presiden Jokowi, justru konsolidasi politik Presiden Jokowi mampu membungkam oposisi koalisi Prabowo. Mari kita telaah peta kekuatan politik terkini di Indonesia yang menyingkirkan Prabowo dari peta kekuatan nyata dengan hati gembira ria senang sentosa bahagia suka-cita pesta-pora menyanyi menari riang sentosa senantiasa selamanya. Sehabis Pilpres 2014, suasana politik diliputi oleh pamer kekuatan kedua pihak: koalisi Prabowo dan koalisi Jokowi. Koalisi Prabowo dengan didukung Demokrat dengan UU MD3 ingin agar seluruh kekuatan di Indonesia (DPR dan DPRD) dibangun koalisi Prabowo. Dimulai dari DPRD DKI sebagai model, lalu DPRD Yogyakarta, dibangun upaya menjegal ‘kepentingan Jokowi’. Sikap tidak ksatria tak mau kalah dan ‘mutung dengan konsep barji barbeh pun pernah tergambarkan’ di awal kekuasaan DPR. Reaksi koalisi Jokowi adalah melawan dengan melakukan pemogokan: DPR terancam terpecah menjadi dua kelompok. Ancaman dead-locked pun menjadi kegundahan. Namun pada akhirnya ketika saling gertak itu hanya menjadi tontonan, dan panggung euphoria DPR dikuasai oleh Fahri Hamzah dan Fadli Zon – yang tidak memiliki kematangan politik dan komunikasi politik. Akibatnya Fahri Hamzah dan Fadli Zon hanya menjadi political clowns di Indonesia. Rakyat yang waras menertawai mereka: dan asyiknya kedua orang kembar FF itu tak tahu kalau mereka menjadi bahan tertawaan orang hehehehe. Di tengah upaya antara melakukan perlawanan – dengan aneka upaya pemakzulan dengan motto semua yang dilakukan oleh Presiden Jokowi harus dikomentari salah, Presiden Jokowi melakukan konsolidasi politik senyap. Penenggelaman kapal pencuri ikan pun dikritik oleh SBY, oleh bahkan Om Tommy anak eyang saya Presiden Soeharto pun mulai meniupkan twit ciutan yang menyebut kapal jukung kecil. Faktanya pencurian ikan di laut harus dilakukan dan untuk kali pertama TNI AL mendukung. Polri pun mendukung. Bahkan terkait jas Presiden Jokowi yang tidak dipasang saja dikritik habis hahahahaha. Kisruh di media, dijawab dengan upaya perlawanan berita kedua belah pihak: yang gagal move on dengan yang berharap banyak dan percaya kepada Presiden Jokowi. Kekuatan berita negatif dan positif tentang Presiden Jokowi bertarung dengan kondisi nyata di masyarakat. Praktis enam bulan pertama pemerintahan Presiden Jokowi hanya diwarnai oleh kehebatan Menteri Susi. Selain itu justru yang menarik kemampuan Presiden Jokowi keluar dari tekanan Mega-Paloh-JK. Taktik merangkul Prabowo dan mengangkat Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan dan Pramono Anung mengakhiri kisruh di DPR. Kisruh Golkar dan PPP menjadi blessing in disguise yang membuat DPR dalam posisi tidak sehat. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Presiden Jokowi untuk melakukan konsolidasi politik dengan (1) merangkul TNI dengan pengembangan dan penguatan TNI secara menyeluruh, (2) Polri didudukkan di bawah kendali Presiden Jokowi sepenuhnya, itu praktis dapat dilakukan (3) setelah Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan diangkat menjadi Menkopolhukam, dan (4) mendekati kantong kekuatan politik di masyarakat pendukung Presiden Jokowi yakni NU dan Muhammadiyah. Kondisi ini ditambah lagi dengan dikuasainya intelejen BIN di bawah sepenuhnya kendali Presiden Jokowi dengan Bang Yos Sutiyoso sebagai Kepala BIN. Adu kekuatan koalisi Prabowo dan koalisi Jokowi menemukan muaranya. Hakikat partai politik sebagai alat mencari kekuasaan dan uang pada akhirnya menyadarkan bahwa yang berkuasalah yang akan memenangkan persaingan sesungguhnya. Upaya banci lingkaran PDIP yang mencoba memaksakan kehendak dengan Kalla-Paloh-Mega sebagai ujung tombak dijawab dengan politik dua kaki Presiden Jokowi: menemui Prabowo dan merangkul kekuatan rakyat. PDIP gagal mengangkat Budi Gunawan. Yang mengejutkan adalah jebakan DPR berhasil dihindari Presiden Jokowi. Kondisi itu pun tidak digunakan oleh Presiden Jokowi untuk menghantam balik PDIP. Presiden Jokowi cukup tahu diri sepenuhnya bahwa PDIP adalah kendaraan partai utamanya. Maka, melihat kondisi seperti itu, maka Presiden Jokowi langsung melakukan reshuffle kabinet yang menguatkan posisinya: mengangkat Jenderal Luhut dan Pranowo Anung dan Sutiyoso. Maka politik pun tenang. Komunikasi politik DPR dengan Istana Presiden terjembatani oleh Pramono Anung. Gebrakan konsolidasi politik Presiden Jokowi ini melemahkan persaingan dengan DPR. Masuknya PAN mendukung Presiden Jokowi – meskipun tidak meninggalkan koalisi Prabowo – memberikan kartu as bagi Presiden Jokowi untuk lebih lanjut bergerak. Mahkamah Agung dibiarkan membuat keputusan karena koalisi Prabowo ditinggal oleh PAN telah keropos. Sepeninggal PAN, Prabowo masih berusaha memainkan kartunya dengan memaksa SBY – yang pernah digebuki oleh Prabowo menurut Hermawan Sulistyo – untuk merapat ke koalisi Prabowo. Tak ada pilihan, di saat SBY tidak digubris oleh rakyat dan pemerintahan Presiden Jokowi, SBY yang gembar-gembor menjadi partai penyeimbang yang sejatinya sikap banci, maka SBY merapat ke Prabowo. Hal ini cocok dengan karakter SBY yang senang dengan kekisruhan. Ingat SBY berusaha menjadikan pilgub dan pilkada dilakukan oleh DPRD! Namun, jika dicermati, politik terkini di Indonesia sudah berubah dibandingkan setahun lalu. Tahun lalu rasa politik adalah dominannya Prabowo yang bekas capres. Suasana kekalahan yang dibawa-bawa terus tidak membuat sehat situasi politik koalisi Prabowo – apalagi para partai semakin realistis bahwa Presiden Jokowi berhasil melakukan konsolidasi kekuatan politik. Kini, kenyataannya orang kuat itu bernama Presiden Jokowi dengan kekuatan dukungan nyata TNI-Polri, basis massa NU dan Muhammadiyah, dan kalangan pejuang anti status quo dan anti korupsi. Para partai koalisi Prabowo menyadari dengan berjalannya waktu, maka persaingan antar partai di pilkada pun berjalan. Pun setelah 5 tahun ke depan, Presiden Jokowi pun tak akan terbendung oleh siapapun untuk menjadi Presiden RI untuk kedua kalinya. Ketika infrastruktur dan ekonomi membaik dengan berbagai paket kebijakannya, maka siapapun tak akan bisa membendung Jokowi menjadi penguasa RI untuk kedua kalinya. Menyadari hal itu, para partai tentu tak akan hanya mengikuti ubyang-ubyung tak berguna bersama Aburizal Bakrie atau Prabowo atau si wani piro Hidayat Nur Wahid. Para partai akan sadar bahwa menjadi partai oposisi tak bermanfaat – karena hanya melanjutkan rasa sakit hati kalah pilpres. Dan gambaran 2019 pun Prabowo yang berusia 68 tahun akan kalah lagi. Dengan demikian, maka kondisi peta politik terkini adalah diwarnai oleh (1) euphoria ketenangan dan (2) konsolidasi kekuatan politik Presiden Jokowi yang berhasil. Sementara di sisi koalisi Prabowo timbul kesadaran bahwa pada 2019 jika pun maju – akibat pembangunan yang mulai memberikan pondasi arah negara yang benar meninggalkan pemerintahan auto-pilot SBY – Prabowo akan kalah. Maka PAN meninggalkan Prabowo yang hanya memiliki 11% suara. Kekuatan sesungguhnya koalisi Prabowo ada pada Golkar – yang dua kadernya Luhut dan JK menduduki posisi penting di Indonesia. Prabowo pun disadari oleh para partai bukan lagi kekuatan politik di Indonesia. Maka untuk menguatkan, Partai Demokrat yang menyatakan penyeimbang – masuk ke koalisi Prabowo untuk menjadi penyeimbang akibat keluarnya PAN dari koalisi Prabowo dengan mendukung pemerintahan Presiden Jokowi. Jadi kekuatan politik nyata di Indonesia ada pada Presiden Jokowi, dan Prabowo disadari oleh para partai bukan lagi menjadi kekuatan politik di Indonesia. Prabowo telah selesai. Dan maju pun di 2019 dipastikan akan kalah karena pembangunan yang sedang dan akan berjalan. Itu disadari oleh para partai koalisi Prabowo juga. Sadar. Salam bahagia ala saya.

Di Copas sepenuhnya dari:
close
Pasang Iklan Disini